Halaman

Senin, 22 Oktober 2018

Tanaman Yang Mengandung Racun

atanaman- tanaman mengandung racun.


1.      Bakung (pohon bung lily)
Bakung termasuk dalam keluarga Liliaceae. Hampir semua jenis bakung adalah beracun dan tidak mudah dicerna. Tanaman jenis ini banyak tumbuh di padang penggembalaan sehingga secara tidak sengaja dapat termakan oleh ternak. 

Umbi bakung sering lebih banyak mengandung racun daripada bagian tanaman yang berada di atas tanah. Hewan yang termasuk rentan adalah sapid an babi. Babi sering terkena racun bakung karena kebiasaannya makan umbi-umbian dengan cara menggali tanah menggunakan moncongnya. 



Gejala klinis pada ternak yang keracunan bakung terlihat gejalanya bervariasi, tergantung banyaknya bakung yang dimakan. Glikosida atau alkaloid merupakan bahan pokok racun yang berakibat pada jantung dan sistem saraf. 

Bila hanya sebagian kecil yang termakan, maka akan terlihat gejala saraf. Tetapi bila sebagian besar termakan, maka yang timbul adalah gejala jantung sebelum sempat menunjukkan gejala saraf. Sapi yang keracunan sering muntah-muntah, diare, dan kemudian mati karena berhentinya fungsi jantung. Pada uji pascamati yang sering terlihat adalah gastroenteritis.

2.      Ubi Kayu (Singkong)
Ubi kayu, cassava atau singkong banyak ditanam di berbagai tempat di Indonesia. Ubi kayu banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi masyarakat, bahkan di beberapa tempat manjadi bahan makanan pokok pengganti beras. 

Daun ubi kayu bercabang seperti jari berwarna hijau tua. Daun yang muda sering dimanfaatkan sebagai sayurDaun ubi kayu mengandung sianida yang beracun. Oleh karena itu jika akan dimanfaatkan untuk bahan sayur harus diolah dengan cara yang benar agar efek toksiknya hilang, misalnya dengan dipanaskan.Kandungan sianida pada daun ubi kayu bervariasi, tergantung pada jenisnya. 



Daun ubi kayu yang segar memiliki kandungan sianida yang cukup banyak. Cara menetralisasi kandungan sianida tersebut dapat dilakukan dengan dijemur sebelum diberikan kepada ternak

Hewan yang rentan adalah semua jenis ternak ruminansia termasuk sapi, kerbau, kambing, dan domba. Oleh karena itu daun ubi kayu yang akan diberikan kepada ternak harus dipanaskan terlebih dahulu di bawah terik matahari hingga layu untuk menetralisasi kandungan racunnya.

Gejala klinis akibat keracunan daun ubi kayu ini terutama pada sapi adalah gejala kejang-kejang, mulut keluar buih keputihan, mata menjadi juling, pernafasan sesak, denyut jantung meningkat, dan bila mengalami keracunan yang berat dapat mengakibatkan kematian.

3.      Jarak (Ricinus communis)
Tanaman ini disebut juga Palma Christi, yang dapat meracuni darah. Tanaman ini ditamukan hampir disetiap daerah tropis. Tanaman ini termasuk jenis tanaman semak yang dapat tumbuh sampai pada ketinggian 3 meter.

Tanaman ini berdaun lebar dan memiliki 3 atau 5 jari. Bunganya kecil-kecil dan berwarna kuning. Bijinya bulat ada kalanya direndam atau direbus untuk dimakan orang bagi yang biasa memakannya. 




Bila tidak ada perlakuan tertentu, biji-biji jarak ini dapat meracuni. Biji jarak ini dapat diperas dan menghasilkan minyak castro. Ampas dari biji jarak tersebut mengandung banyak substansi beracun karena mengandung toksalbumin yang disebut risin.

Gejala klinis pada sapi yang secara tidak sengaja makan pakanan yang tercampur bahan mengandung risin dapat mengalami kematian dengan gejala kejang-kejang.

Tiket Pelatihan Pertanian dan Peternakan Organik Modern Dasar (PDTM)


4.      Kacang Tanah
Kacang tanah atau bungkil kacang tanah sebagai limbah industri sering dimanfaatkan untuk makanan penguat bagi ternak, utamanya sapi dan babi. Kacang tanah atau bungkil kacang tanah dalam situasi tertentu dapat mengakibatkan keracunan akibat dari daya kerja aflatoksin.



Dalam keadaan biasa pakan ternak dari bungkil kacang tanah ini adalah normal dan biasa diberikan, namun dalam situasi tertentu dapat menjadi racun karena kacang atau bungkil kacang tersebut telah ditumbuhi jamur Aspergillus flavus. Galur tertentu dari jamur tersebut dapat diproduksi toksin, terutama bila bungkil yang tersedia tidak betul-betul kering.

Hewan rentan terhadap racun dari jamur Aspergillus ini adalah sapi, babi, dan ayam, sedangkan domba termasuk lebih tahan. Hewan muda lebih rentan daripada hewan dewasa.

Gejala klinis akibat pengaruh dari racun jamur Aspergillus flavus pada kebanyakan hewan antara lain adalah kecepatan pertumbuhannya berkurang dan nafsu makan juga berkurang. Keracunan yang hebat dapat menyebabkan kekejangan dan kemudian hewan akan ambruk.

Pedet yang keracunan dapat mengalami tenesmus dan buta. Pengaruh paling menonjol pada sapi dewasa yang sedang laktasi adalah penurunan produksi susu.

5.      Lantana (Pohon bunga Telekan)
Lantana memiliki banyak spesies, tetapi yang paling banyak dijumpai adalah Lantana camara. Lantana termasuk jenis tanaman perdu, berbatang kasar, bercabang banyak, permukaan daun kasar dan tepi daun bergerigi. Warna mahkota beragam, antara lain merah, kuning, ungu dan putih. 

Lantana tumbuh di hampir setiap negara tropis dan dapat hidup di tanah yang sangat miskin hara, kering, tandus, dan berbatu. Lantana sering dipakai sebagai tanaman hias atau tanaman pagar halaman. Daun dan bunganya berbau langu, sehingga jika tidak terpaksa ternak tidak akan menyukainya.



Hewan yang rentan dan sering mengalami keracunan lantana adalah sapi, terutama pada saat musim kering karena sulit menemukan tanaman hijauan lain di padang penggembalaan kecuali tanaman lantana. Sapi Bali, Brahman cross, dan sapi Brahman sangat rentan terhadap racun tanaman lantana ini.

Gejala klinis pada sapi yang keracunan lantana antara lain adalah jaundice yang berat, fotosensitisasi, dermatitis nekrotik berat terutama di bagian tubuh yang paling banyak terkena sinar matahari atau berwarna lebih pucat seperti pada cuping telinga, ponok, bagian atas moncong dan punggung. 

Ternak kehilangan nafsu makan, diare, gelisah, ambruk, dan akhirnya mati dalam beberapa hari dengan kondisi tubuh yang sangat kurus. Apabila makan tanaman lantana dalam jumlah banyak, maka sapi akan mati karena gastroenteritis sebelum terjadi fotosensitisasi.

6.      Ageratum conyzoides (babadotan)
Ageratum conyzoides (babadotan) merupakan tanaman perdu yang tumbuh di daerah basah dan berawa. Babadotan termasuk ke dalam famili Asteraceae yang banyak dijumpai diberbagai daerah di Indonesia. 



Secara umum babadotan memiliki rasa pahit dan mengeluarkan aroma yang kurang sedap sehingga tanaman ini kurang diminati oleh ternak. Keracunan dapat terjadi bila ternak dalam keadaan lapar terutama setelah melalui perjalanan jauh dan ternak digembalakan pada lokasi yang baru yang tidak memiliki pakan hijauan yang cukup.

Toksisitas - Keracunan tanaman babadotan pernah terjadi di Sumatera Utara pada sejumlah sapi yang baru didatangkan dari luar propinsi (Stoltz dan Murdiati, 1986). 

Sejumlah sapi ditemukan mati setelah mengkonsumsi hijauan yang tersedia di lokasi penampungan. Sirosis hati merupakan kelainan patologis utama yang dijumpai pada hamper seluruh sapi yang mati. 

Sementara itu Ageratum conyzoides dijumpai banyak tumbuh pada lokasi penampungan sapi tersebut dan diduga merupakan salah satu penyebab keracunan pada ternak disamping tanaman lainnya. 

Sani dan Stoltz (1993) melaporkan bahwa perubahan jaringan hati merupakan kelainan patologis yang konsisten ditemukan pada tikus percobaan yang diberi pakan babadotan sebesar 10 – 30%. Perubahan histopatologis yang umum ditemukan pada keracunan babadotan ini terdiri dari anisokariosis sel hati, megalositosis dan proliferasi sel saluran empedu (Sani dan Stoltz, 1993; Sani dan Bahri, 1994).

Analisis kandungan senyawa toksik dari tanaman ini yang dapat menimbulkan kerusakan hati belum pernah dilaporkan. Röder dan wiedenfeld (1991) mencoba untuk mengidentifikasi senyawa toksik daun babadotan secara kimiawi dan melaporkan bahwa babadotan mengandung senyawa pyrrolizidin alkaloid dengan struktur kimia berupa lycopsamin dan echinatin yang bersifat toksik terhadap serangga Lepidoptera.

7.      Lantana camara (tahi ayam, tai kotok)
Lantana camara (lihat gambar) merupakan tanaman perdu yang berasal dari daerah tropis dan subtropis. Tanaman ini mengeluarkan bau khas, tumbuh tegak dan memanjat, banyak cabang, tinggi berkisar antara ¼ - 4 m. Daun sederhana dengan bagian tepi bergerigi. 

Bunga terdiri dari berbagai jenis warna antara lain putih, merah, kuning, orange, biru, ungu atau warna gabungan (intermediat). Lantana dibagi menjadi dua kelompok utama berdasarkan warna bunganya, yaitu bunga pink dan bunga merah.  Warna merah merupakan tanaman yang paling toksik dibanding warna lainnya, kemudian diikuti dengan warna pink. 



Secara umum dalam masa pertumbuhannya, tipe bunga merah atau bunga pink yang berubah menjadi merah dianggap paling toksik. Sedangkan putih - pink atau kuning - pink memiliki toksisitas yang rendah.

Senyawa toksin dari lantana adalah asam triterpenoid yang lebih dikenal sebagai lantadene A, atau disebut juga rehmannic acid. Dosis toksik secara oral dari lantadene A pada domba sebesar 60 mg/kg dan secara intravenous sebesar 4 mg/kg. Daun merupakan sumber utama toksin lantadene A ini, sedangkan bunga, buah dan akar mengandung toksin yang sangat rendah dan tidak menimbulkan kelainan hepatik dan bilirubin pada marmot.



Gejala klinis – Keracunan lantana terjadi secara alami terutama pada sapi, tetapi domba dan kambing juga peka terhadap tanaman ini. Lantana terlihat palatable bagi beberapa ekor sapi, tetapi tidak untuk yang lain. Keracunan biasanya terjadi bila hewan dipindahkan ketempat yang baru pada saat musim hujan atau pada musim dimana pakan hijauan sulit didapat.

Pada keracunan akut, gejala klinis akan muncul beberapa jam setelah makan tanaman ini yang dimulai dengan depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan motilitas rumen, dan konstipasi parah. 

Dua – 3 hari kemudian diikuti dengan gejala icterus, dan pada beberapa kasus, terjadi kelainan kulit akibat fostosensitisasi hepatogenous yang diakhiri dengan terkelupasnya epitelium dan membran mukosa.  Telinga terlihat membengkak, berat dan panas serta tampak terkulai. Kematian dapat terjadi 2 hari setelah intoksikasi parah, yang biasanya akibat kombinasi dari penyakit hati dan kegagalan ginjal. Pada sapi bali penyakit ini di kenal dengan bali ziekte.

Keracunan kronis berkembang dalam beberapa minggu dan ditandai dengan gejala fotosensitisasi. Terlihat adanya keretakan dan deskuamasi kulit yang diikuti dengan gatal, peradangan sclera, perubahan pada cornea, dan peningkatan sensitivitas mata terhadap cahaya terang.

Patologi – Makroskopis, cholestatis merupakan perubahan patologis yang menonjol dalam keracunan lantadene. Hati terlihat membengkak, bewarna orange akibat warna dari cairan empedu dan distensio kantong empedu.  

Ginjal juga membengkak, dan kemungkinan terjadinya perirenal oedema. Mikroskopis, terlihat periportal degenrasi hati, portal fibrosis, hiperplasi sel pembuluh empedu dan centrolobular hepatic necrosis. Pembengkakan hepatocytes dan berisi muliple nuclei. 

Oedema dinding kantong empedu dan tubular necrosis dengan protein cast di dalam ginjal, terdapat myocardial degenerasi dan fibrosis serta kongesti dan oedema pulmonum.

Pengobatan – Pencegahan absorbsi toksin oleh saluran pecernaan dapat membantu dalam pengobatan penyakit. Keluarkan toksin dari rumen dengan menggunakan arang aktif atau bentonit. 

Perawatan pendukung dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, dan glukosa. Sodium thiosulfat 0,5 g/kg BB.IV., digunakan sebagai antidota. Basmi lantana dengan menggunakan herbisida atau kontrol biologi.

8.      Panicum maximum (Rumput benggala)
Panicum spp merupakan rumput tahunan yang tumbuh dengan cepat. Tanaman ini berbentuk rerumpunan yang sangat besar dan memiliki akar serabut yang dapat tumbuh jauh ke dalam tanah; batang tegak, tidak berbulu dengan tinggi mencapai 1 – 2,5 m. 

Daun berjumlah banyak, lancip, panjang mencapai 40 – 105cm dan lebar 10 – 30mm. Banyak dijumpai di pulau Jawa. Selain kemungkinannya mengandung sianogenik glikosida, nitrat atau oksalat, Panicum spp dapat menimbulkan fotosensitisasi hepatogenous pada ternak yang digembalakan di lapangan. Anak domba sangat peka terhadap rumput ini. 



Toksisitas - Panicum spp dikenal sebagai penyebab fotosensitisasi di Australia dan Afrika Selatan serta Amerika Utara dan Selatan. Tanaman ini (P. coloratum pada gambar diatas) juga telah dikembangkan sebagai hijauan pakan ternak di Texas. 

Fotosensitisasi sering ditemukan pada anak domba dan dalam jumlah yang lebih kecil terjadi pada domba dewasa, kambing Angora dan kuda. Sementara itu belum ada laporan kejadian fotosensitisasi akibat rumput ini pada sapi (Dollahite et al., 1977; Muchiri et al., 1980).

Fotosensitisasi dikaitkan dengan saponin seperti dichotomin. Berbagai spesies terlihat mampu menimbulkan kelainan hati dan kulit akibat konsumsi P. coloratum, P. dichotomiflorum dan P. maximum di Amerika Utara dan Afrika Selatan serta P. miliaceum dan P. maximum di Australia dan Amerika Selatan Bedotti et al., 1991). 

Rumput ini juga mengandung saponin yang terdiri dari furostanol dan spirostanol yang terdiri dari diosgenin dan/atau yamogenin. Kristal yang khas di dalam saluran empedu berupa garam kalsium dari saponin, tetapi dengan struktur yang berbeda dari saponin utama dalam tanaman, dan kemungkinan berupa epismilagenin. 

Saponin bereaksi dengan kalsium dan mengalami presipitasi sebagai garam kalsium insoluble di dalam saluran empedu. Presipitat tersebut adalah garam kalsium dari epismilagenin β-D-glucuronide (Miles et al., 1992).

Toksisitas ditandai dengan kristal saponin empedu yang berbentuk kristal, dapat dilarutkan melalui fiksasi dengan alkohol dan membentuk cleft artefak. Derajat kerusakan hati bervariasi dari yang ringan hingga moderat tetapi bersifat reversibel bila hewan dijauhkan dari lapang penggembalaan yang berisi Panicum spp untuk gejala klinis pertama.

Gejala klinis - Gejala klinis berkaitan terutama dengan nekrosis jaringan disekitar kapiler kulit dimana sinar UV berpenetrasi. Perubahan kulit terjadi dengan cepat antara 1 – 2 hari atau secara bertahap dalam seminggu. 

Pada domba, kebanyakan lesio terjadi pada bagian kepala yang meliputi pembengkakan dengan kerontokan bulu dan terkelupasnya kulit pada bagian ujung telinga, kelopak mata, sekitar mata, dekat bibir dan hidung, dan dibawah dagu (jaw). 

Dapat juga dijumpai kemerahan pada coronary bands, kepincangan, ikterus ringan dan depresi. Pada kuda terlihat kehilangan nafsu makan yang kronis dan kehilangan berat badan. Sekali-sekali dijumpai pula hepatoencephalopathy dengan kepala lebih rendah dan sifat yang galak secara periodik.

Patologi – Secara makroskopis, perubahan patologis terbatas pada kulit sebagaimana dibahas diatas. Secara mikroskopis terlihat nekrosis ringan pada proximal convoluted tubules ginjal, focal myocarditis dan haemorrhagi jantung, dan lebih lanjut terjadi degenerasi pada hati. 

Pada hati terlihat pembengkakan dan nekrosis sel hati, peradangan saluran empedu, dan banyak kristal-kristal seperti jarum atau cleft pada saluran empedu kecil, bile canaliculi dan sel Kupffer. Secara morfologis, kristal tersebut merupakan bagian dari kolesterol.

Pengobatan – Gejala fotosensitisasi dapat menghilang segera bila hewan saki dipisahkan dari lapang penggembalaan yang berisi rumput Panicum spp. Tempatkan hewan pada tempat yang teduh atau hindari dari sinar matahari dapat mengurangi gejala dermatitis dan pruritis. 

Tidak banyak terdapat pengobatan untuk kerusakan hati selain dengan perawatan umum yang baik. Manajemen yang baik untuk menghindari penggembalaan anak domba pada Panicum sp dapat meminimalkan fotosensitisasi.

9.      Persea americana (Alpokat)
Alpokat adalah tanaman asli dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang saat ini telah dibudidayakan secara ekstensif di berbagai negara, khususnya daerah tropis hingga subtropis. 



Terdapat tiga varietas utama dari alpokat yaitu Guatemalan, Mexican dan West Indian yang meliputi berbagai strain alpokat. Dari tiga varietas tersebut, hanya varietas Guatemalan yang bersifat toksik. Semua bagian dari tanaman tersebut bersifat toksik bila dimakan oleh ternak. Biji alpokat khususnya sangat toksik bagi babi.

Toksisitas – Konsumsi daun alpokat var. Guatemalan dapat mempengaruhi kesehatan hewan yang sedang dalam masa laktasi dengan menimbulkan gejala non-infectious agalactia dan mastitis. 

Dalam suatu wabah keracunan daun alpokat pada kambing, kelenjar ambing terlihat oedematous dan susu mengalami pengerasan. Pergerakan saluran pencernaan mengalami penurunan dan terlihat anasarca yang ekstensif meliputi leher dan dada. Sementara itu konsumsi daun alpokat oleh kuda dapat menimbulkan anasarka pada kepala dan leher yang sangat sakit sekali.

Dari awal tahun 1900an, alpokat diduga bersifat toksik. Pada tahun 1980an diketahui bahwa hanya varietas Guatemalan dan hibridanya yang memperlihatkan toksisitas. 

Meskipun seluruh bagian tanaman tersebut bersifat toksik bagi ternak, daun merupakan sumber toksisitas utama dari tanaman ini. Toxin alpokat memiliki predisposisi khusus untuk mempengaruhi kelenjar susu yang sedang laktasi. Kambing kelihatan sangat peka terhadap toksin alpokat. 

Pada hewan laktasi efek utama dari dosis rendah daun tanaman adalah non-infecious mastitis dengan kehilangan produksi susu yang nyata (Craigmill et al., 1984; 1989). Mastitis juga dijumpai pada mencit yang diberi diet daun alpokat dengan dosis yang tepat (Sani et al., 1994). Pada hewan non-laktasi atau pada dosis yang lebih tinggi, pengaruh lain seperti cardiomyopathy menjadi lebih dominan dalam keracunan daun alpokat (Sani et al., 1991).

Nekrosis kelenjar susu dan nekrosis myocardium disebabkan oleh R-enantiomer dari persin, suatu rantai panjang, senyawa unsaturated yang telah diisolasi dari daun alpokat (Oerlichs et al., 1995). 

Moderat dosis oral dari persin kepada mencit (60 – 100 mg/kg bb) menimbulkan nekrosis kelenjar susu dalam beberapa jam saja. Pada dosis yang lebih tinggi maka nekrosis myocardium akan muncul.

Gejala klinis – Mastitis terjadi dalam 24 jam setelah diberi daun alpokat, yang terlihat berupa pengerasan dan pembengkakan kelenjar ambing; sekitar 75% penurunan produksi susu; susu terlihat berair, keras dan seperti keju. 

Bila dosis ditingkatkan akan terlihat oedema subcutaneous dari leher hingga dada, batuk, lemah/depresi, malas bergerak, kesulitan bernapas dan cardiac arythmias. Serum enzim hepatic seperti LDH, CK dan AST meningkat.

Patologi – Secara makroskopis, kelenjar susu terlihat oedematous dan hyperemia, dengan bekuan di dalam saluran besar. Pada beberapa hewan, oedema sangat jelas terlihat diberbagai jaringan terutama subkutis dan paru-paru. 

Kongesti umum terjadi pada paru-paru, hati dan limpa; cairan di dalam kantong jantung (hydropericardium), thorax dan abdomen; oedema pada kantung empedu dan jaringan perirenal. Jantung terlihat pucat dan lemah. 

Secara mikroskopis terlihat oedema kelenjar ambing dan degenerasi dan nekrosis pada epithelium acinar secretory. Jantung mengalami interstitial oedema dan degenerasi myocardial.

1 komentar:

  1. Assmuaikum,ijin tanya apakah daun Bakung masih tetap bisa digunakan
    Untuk pakan kambing dengan proses pelayuan seperti halnya
    Daun singkong yg mengandung sianida tetapi masih bisa dijadikan
    Pakan dengan strategi dilayukan, terimakasih

    BalasHapus

Berhenti Sebagai Dosen Ibu ini Justru Sukses Ternak Kambing

Berternak kambing bisa dilakukan oleh siapapun, Ibu Vita adalah salah satu peternak kambing terkoleksi, kandang ternak kambing modern yang t...